Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi alQur’an Oleh: Adnin Armas, M.A. I. Penafsiran Kritis Terhadap Bibel Sebagai Pemicu Munculnya Filsafat Hermeneutika Kemunculan filsafat hermeneutika dipicu oleh persoalanpersoalan yang terjadi dalam penafsiran Bibel. Awalnya bermula, ketika para Reformis menolak otoritas penafsiran Bibel yang berada dalam genggaman Gereja. Menurut Martin Luther (14831546), bukan Gereja dan bukan pula Paus yang dapat menentukan makna Kitab Suci, tetapi Kitab Suci sendiri yang menjadi satusatunya sumber final bagi Kristiani. Martin Luther menyimpulkan Bibel harus menjadi penafsir bagi Bibel itu sendiri. Martin Luther menyatakan“Ini bermakna [Kitab Suci] sendiri oleh dirinya sendiri yang paling dapat diraih, otoritas yang paling dapat dipahami, ianya sendiri adalah penafsir baginya sendiri, yang menguji, menilai, dan mencerahkan segala sesuatunya,… ”.1 Martin Luther mengeluarkan pernyataan tersebut pada tahun 1519. Kurang lebih pada masa bersamaan (1520), Hudreich Zwingli (14841531) juga menyatakan Perkataan Tuhan (The Word of God) menjadi satusatunya sarana—dan sebuah sarana yang efektif dalam kebenarannya sendiriuntuk pembaruan dunia dan Gereja.2 Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas Gereja dalam memonopoli penafsiran Bibel, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip sola scriptura (kitab suci sendiri). Prinsip ini tentunya ditolak oleh kalangan Katolik. Pada tahun 1546, Gereja Katolik mengadakan Konsili Trent. Dalam Konsili tersebut, Gereja Katolik menegaskan “bukubuku yang tertulis dan tradisitradisi yang tidak tertulis yang sampai kepada kita” diterima oleh para utusan (apostles) dari mulut Kritus sendiri atau berlangsung sebagaimana adanya dari tangan ke tangan oleh para utusan dengan dikte dari Ruh Kudus, dan tulisan Perjanjian Lama atau Perjanjian Baratu serta tradisi oral “diterima dan dirujuk oleh Gereja dengan emosi dan penghormatan yang khidmat dan sama.” (pari pietatis affectu ac reverentia). Oleh sebab itu, Gereja Katolik menyatakan tidak ada kontradiksi antara Kitab Suci dan Gereja Katolik. Oleh sebab itu juga, Kitab Suci saja tidak bisa menjadi sumber yang memadai dari wahyu.3 Menanggapi kritikan dari Gereja Katolik, kalangan Protestan harus membuktikan bahwa Kitab Suci sendiri memadai sebagai sumber wahyu dan sepenuhnya dapat diterangkan boleh dan dari ianya sendiri. Menolak Konsili Trent, seorang teolog Protestan, menulis Clavis scipturae sacrae (Kunci Kepada Kitab Suci) pada tahun 1567.4 Dalam karya tersebut, 1 Martin Luther menyatakan: “This means that [Scripture] itself by itself is the most unequivocal, the most accessible [facillima], the most testing, judging, and illuminating all things,…”. Dikutip dari Werner Georg Kümmel, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S. McLean Gilmour dan Howard C. Kee (New York: Abingdon Press, 1972), 2122. 2 Ibid., 21. 3 Ibid., 27. 4 Ibid. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 1 Matthaeus Flacius membahas kaidahkaidah dalam menafsirkan Bibel. Dalam pandangan William Dilthey (18331911), hermeneutika baru muncul sebagai sebuah teori dengan terbitnya karya Matthaeus Flacius pada tahun 1567.5 Jadi, hermeneutika pada asalnya digunakan untuk merujuk kepada studi yang terkait dengan pengembangan aturanaturan dan metodemetode yang dapat membimbing penafsiran Bibel.6 Bagi William Dilthey, Matthaeus Flacius mampu menyelesaikan persoalan ungkapan keagamaan dengan menggabungkan kaidahkaidah retorika tradisonal mengenai niat pengarang dengan wawasan tertentu ke dalam pengalaman keagamaan Protestant. Matthaeus Flacius menekankan pentingnya menyelesaikan kekaburan dalam Bibel dengan mengaitkannya ke dalam konteks Bibel dan konteks tekstual yang partikular. Bagaimanapun, Dilthey menyimpulkan pendekatan Matthaeus Flacius masih dogmatis dan ahistoris. Sebabnya, Matthaeus Flacius menguatkan satu buku Bibel dengan buku Bibel yang lain, dan mengabaikan waktu yang berbeda dimana dan kapan bukubuku itu ditulis.7 Persoalan dalam menafsirkan Bibel yang dipicu oleh kemunculan Protestan, berkembang dan menggiring kepada kajian kritis terhadap teks Bibel itu sendiri. Pada abad ke17 dan ke18, pendekatan kritis kepada teks Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) berkembang. Isaac de la Peyrère (15921676), Baruch Spinoza (16321677), Richard Simon (16381712), dan Jean le Clerc (16541736), misalnya, melakukan studi kritis Perjanjian Lama. Richard Simon (16381712), John Mill (16451707), Dr. Edward Wells (16671727), Richard Bentley (16621742), Johann Albrecht Bengel (16871752), Johann Salomo Semler (17251791), Johann Jakob Griesbach (17451812), Johann Gottfried Herder (17441803), misalnya, melakukan studi kritis Perjanjian Baru.8 Semua para teolog tersebut telah menolak tafsiran tradisional bahwa asal muasal ilahi sebagai otoritatif. Studi kritis PL telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk memahami isi, menyandarkan kepada bukti internal teks sebagai dasar kepada diskusi mengenai integritas dan pengarang teks, dan mencari situasi sosiologis dan historis sebagai konteks yang sesuai untuk memahami asal mula dan penggunaaan materi.9 Studi kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak teksteks tandingan terhadap textus receptus edisi 5 William Dilthey merupakan menulis awal tentang sejarah hermeneutika. Pada tahun 1860, William Dilthey menulis sebuah artikel dengan judul Verhältnis der Hermenetik Schleiermashers zur Geschichte der Auslegung in Philosophie und Theologie (Hubungan Hermeneutika Schleiermacher kepada Sejarah Penafsiran dalam Filsafat dan Teologi). Pada tahun 1900, William Dilthey menulis lagi sebuah artikel dengan judul Die Entstehung der Hermeneutick (Kemunculan Hermeneutika). Kedua artikel tersebut merupakan tulisan awal yang membahas selukbeluk kemunculan hermeneutika. Lihat lebih lanjut Rudolf A. Makkreel, Dilthey: Philosopher of the Human Studies (Princeton: Princeton University Press, 1975), 261, selanjutnya disingkat Dilthey. 6 Aref Ali Nayed, Interpretation as the Engagement of Operational Artifacts: Operational Hermeneutics (Disertasi Doktoral di Universitas Guelph, 1994), 3, selanjutnya diringkas Interpretation. 7 Rudolf A. Makkreel, Dilthey, 261. 8 Lihat lebih detil karya penulis, “Metodologi Orientalis Dalam Studi AlQur’an, ISLAMIA 2 No. 3 (2005), 1926 dan juga buku penulis, Metodologi Bibel dalam Studi AlQur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 3643, selanjutnya diringkas Metodologi Bibel. 9 John H. Hayes, An Introduction to Old Testament Study (Tennessee: Abingdon, 1979), 113. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 2 Erasmus, menyatakan Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak identik, bagianbagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif, bukubuku yang ada dalam Bibel adalah murni historis dan terbentuk berdasarkan kepada kesepakatan dari wilayahwilayah Gereja, hubungan yang nonharmonis antara ketiga para pengarang Bibel (Synoptics), Bibel yang utama (Primal Gospel) adalah oral Yesus dan juga relatifitas penafsiran terhadap Bibel.10 Jadi, kemunculan hermeneutika tidak terlepas dari persoalan penafsiran Bibel yang sekaligus juga menggiring kepada persoalan otentisitas Bibel itu sendiri. II. Hermeneutika Schleiermacher (1768-1834) Dalam kajian filsafat hermeneutika, Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (The father of modern hermeneutics) tersebut karena Schleiermacher telah menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Schleiermacher mendefinisikan ulang ruang lingkup hermeneutika dan membebaskan hermeneutika teologis dari kerangkeng ideologi Gereja yang dibawa oleh Katolik Roma dan Protestant Ortodoks.11 Penghargaan yang diberikan kepada Schleiermacher sebenarnya bermula dari artikel William Dilthey pada tahun 1900, yang berjudul “Die Entstehung der Hermeneutick.” (Kemunculan Hermenutika). Sekalipun berbagai teknik penafsiran telah berkembang, namun bagi William Dilthey, perkembangan penting dalam sejarah lahirnya ilmu hermeneutika terjadi disebabkan peran Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).12 Dalam pandangan William Dilthey, Schleiermacher telah merumuskan teori penafsiran yang krusial untuk perkembangan selanjutnya. Dalam pandangan Schleiermacher, menurut William Dilthey, semua penafsiran karya-karya tertulis hanyalah karya sistematis dari proses umum Penafsiran yang menimpa keseluruhan hidup kita dan dilatih ke setiap jenis wicara ataupun tulisan. Oleh sebab itu, analisa Pemahaman merupakan landasan bagi kodifikasi penafsiran. Bagaimanapun, kondisi tersebut bisa direalisasikan hanya dengan menganalisa produksi karyakarya literatur. Hanya dengan hubungan antara Pemahaman dan produktifitas literaratur yang dapat dan pada saat yang sama aturanaturan dapat didasarkan yang akan menentukan cara-caa dan batasanbatasan penafsiran.13 10 Adnin Armas, Metodologi Bibel, 6367. 11 Werner G. Jeanrond, Theological Hermeneutics: Development and Significance (London: Macmillan Academic and Professional LTD, 1991), 4445. 12 Theodore Plantinga, Historical Understanding in the Thought of Wilhelm Dilthey (United Kingdom: Edwin Ellen Press, Ltd., 1992), 103, selanjutnya disingkat Historical Understanding. 13 William Dilthey, “The Rise of Hermeneutics” dalam The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, editor Gayle L. Ormiston dan Alan D. Schrift (New York: State University of New York: 1990), 112. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 3 Setelah William Dilthey, penghargaan ‘bapak hermeneutika modern’ merupakan gelar yang umum diberikan kepada Schleiermacher. Bagaimanapun, Peter Szondi menilai Schleiermacher sebenarnya tidak terlalu berperan dalam kajian hermeneutis. Setelah mengkaji perkembangan pemikiran hermeneutiika Schleiermacher, Peter Szondi menilai sebenarnya hermeneutika Schleiermacher merupakan adopsi dari pemikir pada zaman Pencerahan seperti Johann Martin Chladenius (1710-1759), Georg Friedrich Meier (1718-1777), Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast.14 Schleiermacher menyangkal inspirasi berada dibelakang teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berbeda secara esensial dari watak inspirasi yang menghidupkan teks-teks penting lainnya. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum mengenai pemahaman dan penafsiran. Bagi Schleiermacher, tidak ada perbedaan antara tradisi hermeneutika filologis yang berkutat dengan teks-teks dari Yunani- Romawi dan hermeneutika teologis yang terfokus dengan teks-teks kitab suci.15 Schleiermacher, yang pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, menegaskan sepatutnya buku-buku yang ada dalam Bibel diperlakukan sama dengan karya-karya tulis yang lain.16 Sekalipun Bibel adalah wahyu, namun ia ditulis dalam bahasa manusia.17 Hermeneutika Schleiermacher membebaskan penafsiran dari dogma dan tradisi dan menjadikannya menjadi prosedur yang berdiri-sendiri. Tujuannya supaya dogma ditafsirkan dengan tidak dogmatis dan tradisi klasik ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak tradisional. Jadi, kebenaran dalam Kitab Suci tidak boleh mempengaruhi prosedur yang akan mengungkap ekspresi dalam setiap teks.18 Bukan itu saja, Kitab Suci pun tidak memerlukan metode yang khusus.19 14 Lihat karya Peter Szondi, Introduction to literary hermeneutics, Penerjemah Martha Woodmansee (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), selanjutnya disingkat literary hermeneutics. 15 Theodore Plantinga, Historical Understanding, 103. 16 Menurut Schleiermacher, Surat Timotius yang pertama bukan berasal dari Paulus. Sebabnya, penggunaan bahasa serta situasi yang digambarkan di dalam teks tersebut, tidak sesuai dengan kehidupan Paulus. Lihat Werner Georg Kümmel, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problems, Pen. S. McLean Gilmour dan Howard C. Kee (Tennessee: Abingdon Press, 1972), 84. 17 Aref Ali Nayed, Interpretation, 2426. 18 Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method (New Haven and London: Yale University Press, 1985), 14243, disingkat Gadamer’s Hermeneutics. 19 Friedrich D. E. Schleiermacher, “General Hermeneutics,” Pen. J. Duke dan J. Forstman dalam The Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the Present, Ed. Kurt MuellerVollmer (New York: The Continuum Publishing Company, 1992), 80, selanjutnya disingkat General Hermeneutics. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 4 Pemikiran Schleiermacher dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran. Sebelum Schleiermacher, penafsiran terhadap teks-teks klasik dan Perjanjian Lama serta Perjanjian dan Baru dianggap sebagai persoalan regional dan solusinya dicapai dengan metode yang berkembang dalam teks-teks tersebut. Berbeda dengan para pendahulunya, Schleiermacher menyatakan seorang penafsir harus berada di atas teks-teks dan kaidah-kaidah filologis dan Bibel. Sebabnya, penafsiran adalah permasalahan umum. Penafsiran merupakan sebuah permasalahan terlepas dari materi pembahasan yang ada baik dalam teks-teks klasik maupun dalam Bibel. Dalam pandangan Gadamer, Schleiermacher telah menggeser tugas hermeneutika dari kesulitan memahami materi kepada persoalan penafsiran. Menurut Gadamer, jika sebelumnya, hermeneutika muncul sebagai bantuan pedagogis (pedagogical aid) untuk memahami teks, maka dengan Schleiermacher, pembahasan bukan lagi tentang ketidakpahaman (not understanding) tetapi prioritasnya adalah tentang kesalahpahaman (misunderstanding). Kesalah-pahaman muncul secara alami karena perubahan dalam makna kata-kata, keragaman pandangan-hidup dan sebagainya yang terjadi disebabkan perbedaan waktu antara pengarang dan penafsir. Jadi, perkembangan sejarah yang datang di antara perbedaan waktu antara pengarang dan penafsir, jika dampaknya tidak bisa dinetralisir, maka hal tersebut merupakan perangkap. Jadi, bagi Schleiermacher, apa yang dimaksudkan oleh teks bukanlah sama sekali apa yang “kelihatannya” dikatakan kepada pembaca. Tetapi, maknanya harus ditemukan dengan merekonstruksi situasi historis, dimana teks tersebut berasal. Hanya dengan penafsiran yang terkontrol secara metodologis dan kritis, maksud pengarang dapat diungkap.20 Mengomentari gagasan Schleiermacher yang telah menjadikan penafsiran sebagai permasalahan umum, Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah21 (Kunstlehre), yang tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan kaidahkaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika universal (universal hermeneutics). Teori penafsiran tidak lagi dibatasi oleh kebenaran yang ada dalam materi pembahasan. Untuk memahami (Verstehen) sebuah teks, Schleiermacher mengemukakan caracara melakukan penafsiran (Auslegung). Menurutnya, sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan penafsiran tatabahasa dan psikologis (grammatical and psychological interpretation). Penafsiran tatabahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa yang digunakan dalam teks, sedangkan penafsiran psikologis berfungsi untuk 20 HansGeorg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, Penerjemah dan editor David E. Linge (California: University of California Press, 1977), xiii. 21 Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on language, action and interpretation, John B. Thompson. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 5 mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks.22 Kedua jenis penafsiran tersebut (penafsiran tatabahasa dan penafsiran psikologis) dibangun di atas konsep Schleiermacher tentang pemahaman. Dalam pandangan Schleiermacher, pemahaman terdiri dari dua moment: pemahaman sebagai wicara (speech) diambil dari bahasa dan pemahaman sebagai sebuah fakta di dalam subjek yang berfikir. Setiap orang, Schleiermacher menyatakan: “Pada satu sisi sebuah tempat dimana sebuah bahasa yang terberikan mengambil bentuk dalam cara yang khusus, dan wicaranya dapat dipahami hanya dalam konteks totalitas bahasa. Tetapi kemudian dia juga merupakan jiwa yang berkembang secara konstan, dan wicaranya hanyalah merupakan satu dalam perkembangan ini dalam kaitannya dengan banyak lainnya.”23 Schleiermacher memformulasi kaidahkaidah penafsiran tatabahasa. Schleiermacher menegaskan sebuah teks akan dapat ditentukan maknanya jika dikaitkan dengan bahasa orisinal yang dikomunikasikan oleh pengarang kepada publik. Selain itu, makna dari setiap kata harus ditentukan dengan konteks keberadaan kata tersebut.24 Schleiermacher mengaplikasikan prinsip sebagian dan keseluruhan (the part-whole principle) bukan hanya kepada tata bahasa tetapi juga kepada psikologi pengarang. Jadi, bukan saja setiap unit tata bahasa harus dipahami dalam konteks dari keseluruhan ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang.25 Jika seorang penafsir melakukan tugas tersebut, maka Schleiermacher menyimpulkan seorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri26 dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.27 III. Hermeneutika William Dilthey (18331911) Schleiermacher banyak mewarnai pemikiran Dilthey. Salah satunya gagasan Besserverstehen. Menurut Dilthey, sangat memungkinkan jika seorang penafsir akan bisa memahami pengarang dengan lebih baik dibanding dengan pengarang itu memahami dirinya sendiri. Bagaimanapun, hal tersebut tidak diraih secara otomatis. Untuk mencapai kondisi tersebut, seorang penafsir harus melalui beberapa tahap. 22 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique (London and New York: Routledge, 1990, terbit pertama kali pada tahun 1980), 44, selanjutnya disingkat Contemporary Hermeneutics. 23 Schleiermacher menyatakan: “One the one hand a locus where a given language takes shape in a particular way, and his speech can be understood only in the context of the totality of the language. But then he is also a constantly developing spirit, and his speech is only one fact in this development in relation to many others.” Dikutip dari Peter Szondi, literary hermeneutics, 121. 24Friedrich D. E. Schleiermacher, General Hermeneutics, 86 & 90. 25 Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, 141. 26 Friedrich D. E. Schleiermacher, General Hermeneutics, 83. 27 Ibid., 87. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 6 Sebabnya, pemahaman memiliki beberapa tingkat makna. Tingkat makna pertama, pemahaman sebagai menangkap sebuah makna dengan melalui tanda yang menunjukkan atau mewakili apa yang dimaksud (understanding as grasping of a meaning by way of a sign that stands for or represents what is meant). Inilah makna dasar dari pemahaman dan pada tingkat ini, seorang penafsir belum bisa mencapai Besserverstehen. Tingkat makna kedua, pemahaman sebagai nacherleben, yaitu mengimbas kembali perasaan dan pengalaman yang dipercayai telah dialami oleh pengarang, dengan berdasarkan kepada pengalamanpengalaman yang termanifestasikan dalam ungkapan yang dapat diakses. Seorang penafsir dalam tingkat ini belum juga mencapai tahap Besserverstehen. Pada tingkat ini, penafsir merasakan persis dengan apa yang difikirkan dan dirasakan oleh pengarang-tidak kurang dan tidak lebih. Hanya pada tingkat makna yang ketiga dari pemahaman, maka Besserverstehen dapat diraih. Level makna pada tingkat ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa makna dalam konteks, signifikansi dan implikasi dari sebuah pernyataan, tindakan atau peristiwa tidak pernah bisa tetap dan sempurna. Sejarah adalah jaringan pola, hubungan dan keterkaitan yang kompleks yang akal seseorang tidak pernah bisa memahaminya secara utuh. Dalam kehidupan, terdapat beragam faktor penting yang tidak disadari. Menangkap faktor-faktor tersebut yang saling terkait merupakan tugas yang tidak pernah usai. Pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri dan kekuatan-kekuatan yang berlaku dalam kehidupannya tidak pernah lengkap. Kondisi ini membuka ruang kemungkinan bagi sejarawan untuk selalu meliput dasar yang sama di masa mendatang untuk mencapai pemahaman yang lebih penuh mengenainya dengan berdasarkan kepada ilmu pengetahuan tentang keadaan yang lebih lengkap karena biasanya lebih banyak ilmu tersedia setelah bertahuntahun berlalu. Pemahaman yang lebih lengkap inilah yang menyebabkan Besserverstehen bisa diraih dan inilah tugas implisit seorang sejarawan.28 Sekalipun terpengaruh dengan teori penafsiran Schleiermacher, Dilthey juga memiliki perbedaan penekanan dengan Schleiermacher. Jika Schleiermacher menekankan kepada susunan keseluruhan arsitektonik dalam menafsirkan, maka Dilthey lebih menekankan kepada sejarah. Menurut Dilthey, Schleiermacher telah gagal mempertimbangkan pentingnya perspektif sejarah untuk menyempurnakan tugas hermeneutika, yaitu memahami pengarang lebih baik daripada pengarang tersebut memahami dirinya sendiri.29 Bagi Dilthey, perspektif sejarah sangat penting karena teks yang akan ditafsirkan adalah realitas itu sendiri beserta kesalingterkaitannya. Pertanyaan bagaimana sebuah teks dari masa lalu dapat dipahami akan didahului dengan pertanyaan lain: bagaimana keterkaitan 28 Ibid., 11921. 29 Rudolf A. Makkreel, Dilthey, 267 Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 7 sejarah dapat dimengerti? Sama halnya, sebelum koherensi teks, ada koherensi sejarah, dan yang dianggap paling penting adalah ekspresi kehidupan (expression of life).30 Dilthey berpendapat hermeneutika Reformasi (Reformation hermeneutics) masih belum melepaskan diri sepenuhnya dari biasbias tradisi dan dogma. Sebabnya, hermeneutika Reformasi masih berkutat pada hubungan antara bagianbagian teks dengan keseluruhan teks, dan penulisan teks masih belum dikaitkan dengan konteks historis yang lebih luas. Dilthey berambisi menjadikan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi (Grundlegung) ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Bahkan segala ungkapan eksternalisasi kehidupan ditangani dengan cara hermeneutika (All expressions and externalizations of life were to be dealt with by hermeneutical means). Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa dan pengarang tidak memiliki otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya. IV. Hermeneutika Emilio Betti (18901968) Emilio Betti adalah seorang sarjana Italia, pakar dalam bidang hukum Romawi dan menulis banyak karya tentang hermeneutika. Hampir keseluruhan karyanya ditulis dalam bahasa Italia. Terjemahan karyanya ke dalam bahasa Inggris, sayangnya, masih sangat amat terbatas.31 Dalam pandangan Betti, hermeneutika merupakan teori umum penafsiran yang berfungsi sebagai metodologi umum untuk ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Ini sekaligus menunjukkan hermeneutika Betti sangat terinspirasi oleh hermeneutika Dilthey. Betti juga mengikuti pendapat Schleiermacher ketika menyatakan penafsiran memberlakukan kembali fikiran pengarang yang menggiring kepada pengetahuan kembali apa yang pada asalnya diteliti oleh pengarang. Sekalipun Betti terinspirasi oleh Schleiermacher dan Betti, namun ini tidaklah menunjukkan Betti tidak memiliki kontribusi ide dalam hermeneutika. Di antara sumbangan penting gagasan Betti terhadap hermeneutika adalah (1) Betti menawarkan tipologi penafsiran yang komprehensif. (2) Ia adalah teoris yang pertama mendirikan institusi 30 Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on language, action and interpretation, John B. Thompson (editor sekaligus penerjemah), 48. 31 Emilio Betti menulis Die Hermenutik als Allgemeine Methodik der Geisteswissenchaften (Tübingen: J. C. B. Mhr, 1972). Tulisan ini telah diterjemahkan oleh Josef Bleicher sebagai “Hermeneutics as the general methodology of the Geisteswissenschaften” dalam Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique (London & New York: Routledge, 1980), 5194, selanjutnya diringkas Contemporary Hermeneutics. Terjemahan Josef Bleicher dengan judul yang sama juga dimuat dalam The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, editor Gayle L. Ormiston dan Alan D. Schrift (New York: State University of New York Press, 1990), 159197. Magnum opusnya Emilio Betti, Teoria Generale Della Interpretazione sayangnya masih belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 8 untuk mengkaji isuisu penafsiran yang ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Ia mendirikan Institut Penafsiran di Universitas Roma.32 Betti memulai hermeneutikanya dari pengamatan bahwa manusia memiliki kebutuhan alami untuk saling mengerti. Kebutuhan ini berangkat dari kemanusiaan umum yang semua manusia ikut serta. Seseorang ‘mohon’ kepada yang lain, mengeluarkan ‘panggilan’ kepada mereka untuk berusaha memahaminya. Ketika seseorang mengeluarkan permohonan untuk dimengerti, secara alami orang lain terpanggil dengan permohonan itu, dan secara alami pula merasa berkewajiban untuk menjawabnya. Seperti yang dikatakan oleh Betti: “Nothing is as close to the heart of a human being as mutual understanding with other human beings.”33 Bagaimanapun, Emilio Betti berpendapat permohonan seseorang untuk dimengerti, tidak pernah dibuat secara langsung, tetapi hanya melalui perantara. Betti menyebutnya perantara tersebut sebagai ‘bentukbentuk yang penuh makna (meaningfull forms). Konsep tentang bentukbentuk yang mewakili sangat penting dalam hermeneutika Betti.34 Bagi Emilio Betti, makna itu sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang dan agenagen historis. Makna dirujuk kepada bentukbentuk yang penuh makna yang merupakan objektifikasi pemikiran manusia. Bagi Emilio Betti, terutamanya melalui bentukbentuk bahasa yang objektif dan struktur tingkah laku subjek yang menafsirkan menemukan akal yang lain. Bagi Emilio Betti, hermeneutika adalah metode yang diaplikasikan kepada penasiran dalam mengjamin objektifitas hasilnya. Dengan menggunakan metode yang benar serta kaidah penafsiran yang benar, seorang penafsir mampu untuk meraih di luar kondisi historisnya untuk memahami makna sebuah teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang. Aturanaturan dan kaidahkaidah yang mengarahkan penafsiran dapat diaplikasikan secara universal kepada teks apapun.35 Jadi, Emilio Betti merumuskan metode serta kaidah dalam penafsiran yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih objektifitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, Emilio Betti melakukan 2 hal, (pertama) ia mengklarifikasi persoalan pemahaman dengan memeriksa, secara detil proses penafsiran; kedua, memformulasi sebuah metodologi yang menghalang gangguangangguan subjektifis masuk ke dalam penafsiran objektif dari objektifasi akal.36 Dalam pandangan Emilio Betti, dengan peraturanperaturan hermeneutis, situasi hermeneutis dapat diatasi dengan penafsiran objektif. Bentukbentuk yang penuh makna (meaningfull forms) dan bahasa merupakan jembatan yang menghubungi situasi hermeneutis. Mengikuti Immanuel Kant dengan “revolusi Copernicus” dalam wilayah epistemology, Betti 32 Aref Ali Nayed, Interpretation as the Engagement of Operational Artifacts: Operational Hermeneutics (Disertasi Doktoral di Universitas Guelph, 1994), 37, berikutnya disingkat Operational Hermeneutics. 33 Ibid., 3738. 34 Ibid., 38. 35 Osman Bilen, The Historicity of Understanding and The Problem of Relativism in Gadamer’s Philosophical Hermeneutics (Washington D.C.,: The Council for Research in Values and Philosophy, 2000), 91, selanjutnya diringkas The Historicity of Understanding.. 36 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, 3940. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 9 berpendapat bahwa pengetahuan bukan lah kaca realitas yang pasif, tetapi objekobjeknya ditentukan oleh cara kita memahami objekobjek tersebut. Tujuan penafsiran, dalam pandangan Emilio Betti adalah untuk memahami bentukbentuk yang penuh makna; untuk menemukan pesan yang diransmisikan oleh akal lain kepada kita. Ringkasnya, penafsiran merupakan sebuah aktifitas dengan tujuan untuk tiba kepada Pemahaman. Betti memaknai pemahaman sebagai ‘sensus non est inferendus sed efferendus.’ Betti menganggap hanya Auslegung (penafsiran objektif) sebagai bentuk sah dari penafsiran. Ini berbeda dengan Deutung dan ‘spekulative Deutung.’ (penafsiran spekulatif).37 Bagaimanapun, objektifitas yang sempurna bagi Emilio Betti tidak akan pernah diraih. Emilio Betti menegaskan yang ada hanya objektifitas yang relatif (relative objectivity). Bagi Emilio Betti, hal ini disebabkan adanya hubungan yang dialektis antara aktualitas pemahaman (actuality of understanding) dan objektifasiobjektifasi akal (objectivations of mind). Maksudnya, subjek dan objekobjektivasiobjektivasi akal, dalam proses penafsiran terkunci bersama dalam hubungan yang bertentangan. Akal telah mengental ke dalam bentuk yang permanent dan berkonfrontasi dengan subjek sebagai yang lain (other). Namun, antara keduanya (subjek dan objektifasi akal) memiliki saling ketergantungan. Sebabnya, akal yang subjektif memerlukan objektifasi sebagai sokongan untuk membebaskan dirinya dengan meraih kesadaran. Sama halnya, objektifikasiobjektifasi yang terkandung dalam apa yang diwariskan tergantung sepenuhnya kepada akal untuk dibawa kepada pemahaman, yaitu diperkenalkan kembali kepada ranah pemahaman melalui proses penafsiran.38 Jadi, sekalipun penafsiran objektif dapat diraih, namun Betti meyatakan penafsiran tidak akan pernah bisa sempurna dan final.39 Penafsiran objektif tidak akan pernah bisa menjadi absolut karena wujudnya jarak antara diskursus tertulis atau pembicaraan dengan audiensnya.40 Jadi, dalam pandangan Betti, sekalipun penafsiran bisa sampai kepada objektifitas, namun objektifitas penafsiran tersebut tetap relatif. Bagi Betti, makna seharusnya diderivasi dari teks dan bukan dimasukkan ke dalam teks. (meaning has to be derived from the text and not imputed to it).41 Untuk meraih penafsiran objektif, Betti menyusun empat kaidah. Dua kaidah terkait dengan objek penafsiran dan dua kaidah lain terkait dengan subjek penafsiran. Dua kaidah yang terkait dengan objek penafsiran menunjukkan objek pemahaman merupakan makna yang dimaksudkan oleh pengarang serta koherensi internalnya. Kedua kaidah tersebut sebagai berikut: Pertama, kaidah otonomi objek hermeneutis dan standar hermeneutis yang immanent (the canon of the hermeneutical autonomy of the object and immanence of the hermeneutical standart). Dengan kaidah ini, Emilio Betti ingin menyatakan bahwa makna harus didasarkan kepada objek penafsiran, yaitu bentukbentuk yang penuh makna yang harus dianggap 37 Ibid., 2930. 38 Ibid., 30. 39 Ibid., 38. 40 Ibid., 36. 41 Ibid., 36. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 10 sebagai otonomi. Makna yang diafsirkan adalah makna yang immanent, bukan proyeksi penafsir. Maksudnya, bentukbentuk yang penuh makna harus dianggap sebagai otonomi. Otonomi objek penafsiran harus dimengerti dengan kesesuaiannya dengan perkembangan logikanya sendiri. Bentukbentuk yang penuh makna harus dinilai dalam kaitannya dengan standartstandart yang immanent dalam niat orisinal pengarangnya. Kaidah ‘mens dicentis’ ini dalam pemahaman hermeneutis, verstehen, mengikuti pola penafsiran bahwa ‘sensus non est inferendus sed efferendus.’42 Kedua, kaidah koherensi makna (prinsip totalitas) (the canon of the coherence of meaning (principle of totality). Dengan kaidah ini, Emilio Betti memaksudkan bahwa keseluruhan dan sebagian dalam bentukbentuk yang penuh makna saling berhubungan. Makna keseluruhan harus berasal dari unsurunsur individu. Sama halnya, sebuah unsur individu harus dimengerti dengan merujuk kepada keseluruhan yang komprehensif dimana unsur individu tadi merupakan bagiannya.43 Dua kaidah yang terkait dengan subjek penafsiran adalah sebagai berikut: Pertama, kaidah aktualitas pemahaman (The canon of the actuality of understanding). Dengan kaidah ini Emilio Betti memaksudkan bahwa tugas penafsir adalah untuk menelusuri kembali proses kreatif, membangun kembali proses tersebut dalam dirinya, menerjemahkan kembali pemikiran Yang Lain, bagian dari masa lalu, peristiwa yang telah diingat, ke dalam akutalitas kehidupannya sendiri. Maksudnya, mengadapsi dan mengintegrasikannya ke dalam wawasan intelektual seseorang dalam framework pengalamannya sendiri dengan melalui sejenis transformasi dengan didasarkan kepada sistesis yang sejenis yang memungkinkan rekognisi dan rekonstruksi dari fikiran tersebut. Tugas penafsir adalah menemukan makna yang dimaksud pengarang. Bagaimanapun, ini tidak menunjukkan penafsir adalah penerima yang passif tetapi rekonstruktif secara aktif. Selain itu, kondisi subjek penafsir tidak tepat untuk disamakan dengan gagasan Gadamer ‘Vorverständnis’ (prapemahaman). 44 Kedua, kaidah korespondensi makna hermeneutis (kemantapanmakna dalam pemahaman). (The canon of the hermeneutical correspondence of meaning (meaningadequacy in understanding). Menurut kaidah ini, penafsir seharusnya berusaha membawa aktualitas kehidupannya sendiri ke dalam harmoni yang paling erat dengan stimulasi yang ia terima dari objek sehingga satu dan yang lain meresonansikan dengan cara yang harmoni.45 Kaidah ini mensyaratkan penerjemah harus membawa subjektifitasnya ke dalam harmoni dengan stimulasistimulasi objeknya. Betti mengakui fakta bahwa penerjemah bisa memahami pokok persoalan dalam pengalamannya sendiri, tetapi dia harus membuat selalu 42 Emilio Betti, Hermeneutics as the general methodology of the Geisteswissenschaften” dalam Contemporary Hermeneutics, 58. 43 Ibid., 59. 44 Emilio Betti menyatakan: “The interpreter should strive to bring his own lively actuality into the closest harmony eith the stimulation that he receives from the object in such a way that the one and the other resonate in a harmonious way.” Lihat Emilio Betti, “Hermeneutics as the general methodology of the Geisteswissenschaften” dalam Contemporary Hermeneutics, 6263. 45 Ibid., 85. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 11 berusaha untuk mengkontrol ‘prejudisprejudis’nya dan mensubordinasikan pengetahuannya ke dalam objek makna yang disampaikan di dalam teks.46 Emilio Betti juga menyebutkan ada empat moment teoritis dalam proses penafsiran yaitu moment filologis, kritis, psikologis dan morfologisteknis. Selain ke empat moment tersebut, ia juga menyebutkan 3 jenis penafsiran. Pertama, penafsiran rekognitif (recognitive interpretation). Tujuannya diraih dengan sendirinya (autotelic). Kedua, penafsiran reproduksi (reproductive interpretation). Tujuannya mengkomunikasikan sebagian pengalaman. Ketiga, penafsiran normatif (normative interpretation). Dimaksudkan untuk menyediakan petunjuk untuk aksi.47 Selain itu, Emilio Betti juga menyebutkan 5 rintangan yang menghalangi penafsiran yang objektif.48 V. Hermeneutika Erick D. Hirsch (1928) Hermeneutika Hirsch banyak terinspirasi oleh Schleiermacher, William Dilthey dan Emilio Betti. Sebagaimana para pendahulunya, Hirsch ingin menyusun fondasi ilmiah bagi sebuah penafsiran. Selain menulis beberapa artikel, ia menulis buku mengenai hermeneutics, seperti Validity in Interpretation ((1967) dan The Aims of Interpretation (1976). Bagi Hirsch, penafsiran adalah pernyataan tentang niat pengarang.49 Hirsch menyatakan “Jika kita tidak dapat menyebutkan sebuah prinsip untuk membedakan antara sebuah penafsiran yang sah dan yang tidak sah, hanya ada sedikit poin dalam menulis bukubuku tentang teks atau tentang teori hermeneutika.”50 Seperti Schleiermacher, Dilthey dan Betti, Hirsch berpendapat bahwa reproduksi makna pengarang adalah satusatunya objek penafsiran, dan itulah juga satusatunya kriteria untuk kesahihan pemahaman.51 Hirsch membedakan antara makna (Sinn/meaning) sebuah teks dan signifikasinya bagi para penafsir yang berbeda atau periode sejarah yang berbeda. Sekalipun jika teks ditafsirkan membawa signifikasi (Bedeutung/significance) yang berbeda, makna adalah tetap dalam arti yang dimaksudkan oleh pengarang.52 Hirsch berpendapat ketidaksepakatan antara para penafsir bukan didasarkan atas makna (meaning) teks, tetapi atas signifikasi (significance) yang mereka beri kepada makna tersebut. Hirsch mendefinisikan makna dan signifikansi sebagai berikut: “Meaning is a selfidentical schema whose boundaries are determined by an originating speech event, while significance is a relationship drawn between that selfidentical meaning and anything else.”53 46 Osman Bilen, The Historicity of Understanding, 92. 47 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, 4041. 48 Ibid., 3435. 49 Burhanettin Tatar, Interpretation and the Problem of the Intention of the Author: H.G. Gadamer vs E. D. Hirsch (Washington D.C., The Council for Research in Values and Philosophy, 1998), 39, selanjutnya diringkas Interpretation. 50 Dikutip dari Osman Bilen, The Historicity of Understanding, 95. 51 Ibid. 52 Ibid., 96. 53 Burhanettin Tatar, Interpretation, 67. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 12 Hirsch menegaskan tujuan penafsiran adalah untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Hirsch menegaskan mengetahui kembali (rekognisi) makna pengarang dapat diraih. Untuk menyokong pendapatnya, Hirsch pertama menunjukkan bahwa makna wujud. Kedua, makna tersebut dapat diraih. Hirsch berusaha menunjukkan hal tersebut melalui langkahlangkah berikut: (1) Hirsch berpendapat adanya ‘esensi’ dari sebuah teks yang merupakan makna yang dimaksudkan oleh pengarangnya. (2). Ia berpendapat esensi teks yang berterusan (Hirsch menyebutnya makna) sekalipun beragam sifat yang berlangsung dalam kontekskonteks yang berbeda dan dan untuk para penafsir yang berbeda (Ia menyebutnya signifikasi). (3) Ia membela kemungkinan logis untuk menangkap esensi teks melalu proses dugaan dan bantahan a la Popper.54 Tujuan tersebut memungkinkan untuk bisa diraih. Hirsch mengemukakan 5 argumentasi untuk menunjukkan mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang memang bisa diketahui. Pertama, argumentasi praktis atau logis (the practical or logical argument). Jika seseorang ingin mengklaim keabsahan penafsirannya, maka dia harus mengaitkannya dengan standart yang diterima secara umum. Kedua, argumentasi moral tradisional (the traditional moral argument). Manusia seharusnya berusaha untuk meluaskan wawasan mereka. Penafsiran yang bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang adalah perluasan wawasan kepada seseorang. Oleh sebab itu, para penafsir seharusnya bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Ketiga, argumentasi moral atau argumentasi dari etika bahasa (the moral argument or the argument from the ethics of language). Manusia seharusnya memperlakukan orang lain sebagai tujuan (ends) bukan sebagai cara (means). Teksteks yang merupakan ungkapan kemanusian manusia, seharusnya juga diperlakukan sebagai tujuan bukan sematamata cara. Ketika seorang penafsir bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang, penafsir tersebut sedang memperlakukan teks karya pengarang tersebut sebagai tujuan. Oleh sebab itu, penafsir tersebut seharusnya mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Keempat, argumentasi dari peraturan emas (the argument from the golden rule). Manusia seharusnya hidup sesuai dengan prinsip: ‘berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin mereka berbuat kepadamu.’ Seorang penafsir akan lebih menghendaki supaya orang lain menafsirkan teksnya dengan tujuan mengenal kembali makna yang dimaksudkannya. Oleh sebab itu, penafsir tersebut seharusnya bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh orang lain. Kelima, argumentasi dari karya (the argument from vocation). Penafsiran merupakan sebuah karya. Karya tersebut mengandung kewajibankewajiban moral tertentu. Di antara kewajibankwajiban tersebut adalah kewajiban untuk mengenal kembali makna yang dimaksudkan oleh pengarang. Oleh sebab itu, seseorang yang melakukan penafsiran sebagai sebuah karya seharusnya bertujuan seperti itu.55 54 Aref Ali Nayed, Operational Hermeneutics, 51. 55 Ibid., 6570. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 13 VI. Hermeneutika Gadamer (19001998) Hermeneutika Gadamer berakar kuat dalam konsepnya tentang sejarah. Menurut Gadamer, manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah. Manusia milik sejarah, bukan sebaliknya. Eksistensi manusia (Dasein) selalu menemukan dirinya telah terkait dengan yang lain. Kita menemukan wujud diri kita telah berada dalam dunia (InderWeltSein/ wujuddidalamdunia) yang tidak kita ciptakan, dan inilah dunia kita. Akal juga menyejarah. Akal tidak dapat membebaskan dirinya dari prapenilaian dan tradisi. Kondisikondisi kongkrit ada ketika akal bekerja karena akal tidak bisa lepas dari sejarahnya. Sebelum pengalaman individu, sejarah telah terlebih dahulu wujud sekaligus terlebih dahulu memiliki pengaruh, yang menentukan pengalaman tersebut. Oleh sebab itu, Gadamer menegaskan bukan penilaianpenilaian yang sebenarnya membentuk realitas sejarah dari wujud individu, tetapi justru prapenilaianprapenilaian (Vorurteil).56 Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang (ia mengistilahkannya sebagai situasi hermeneutis/hermeneutical situation) merupakan sebuah prapenilaian yang tidak bisa dihilangkan karena situasi tersebut adalah “given.” Bagi Gadamer, prapenilaian tidak pernah dapat dipisahkan dari hakikat wujud manusia. Oleh sebab itu, kondisi penafsir sekarang, bukan lah halangan yang merintangi dalam penafsiran, namun justru merupakan landasan produktif dari semua pemahaman. Dalam pandangan Gadamer, teori penafsiran Scheleirmacher akan menjadikan situasional penafsir (orang yang mengetahui) sebagai sebuah persoalan, dan bahkan penafsir akan menafikan situasinya sendiri. Ini sebuah kekeliruan. Bagi Gadamer, situasi sekarang yang merupakan sebuah prapenilaian kita tidaklah memotong kita dari masa lalu, namun merupakan permulaan yang membuka wawasan kita. Prapenilaianprapenilaian tersebut adalah kondisi positif yang memungkinkan pemahaman positif.57 Gadamer menyatakan sejarah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Gadamer mengistilahkannya Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (effectivehistorical consciousness/efekkesadaran sejarah). Jadi, Gadamer tidak memandang sejarah sebagai sesuatu objek, pasif dan dapat diinvestigasi, seperti pendapat Dilthey. Bagi Gadamer, manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Manusia sudah berada di dalam dunia. Wujud di dunia adalah eksistensi manusia. Oleh sebab itu, dunia tidak dapat diobjektifikasikan. Metode ilmiah sebagaimana yang dikembangkan 56 Gadamer menyatakan: “In truth history does not belong to us; but we belong to it. Long before we understand ourselves through the process of selfexamination, we understand ourselves in a selfevident way in the family, society and state in which we live…. The selfawareness of the individual is only a flickering in the closed circuits of historical life. For this reason, the prejudices of the individual, far more than his judgments, constitute the historical reality of his being.” Dikutip dari Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method (New Haven: Yale University, 1985), 169, selanjutnya disingkat Gadamer’s Hermeneutics. 57 HansGeorge Gadamer, Philosophical Hermeneutics, Pen. & Ed. David E. Linge (California: University of California Press, 1976), xivxv. selanjutnya disingkat Philosophical Hermeneutics. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 14 sejak periode Pencerahan (Enlightenment) keliru karena ingin memisahkan antara manusia sebagai subjek dan dunia sebagai objek.58 Jadi, efekkesadaran sejarah adalah kondisi yang nonobjektifikasi. Sekalipun begitu, kesadaran yang nonobjektifikasi selalu mengiringi proses pemahaman. Gadamer menyatakan “a nonobjectifying consciousness always accompanies the process of understanding.”59 Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia sebenarnya telah ada sebelum manusia mulai memahami. Oleh sebab itu, menurut Gadamer, pemahaman adalah kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis manusia. Pemahaman adalah persoalan ontologis. Gadamer menolak pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menganggap penafsiran sebagai aktifitas para penafsir dan merupakan persoalan metodologis. Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai epistemologis karena hermeneutika merupakan seni untuk menghindari kesalahpahaman. Padahal dalam pandangan Gadamer, kesalahpahaman mengasumsikan sebelumnya adanya kesepakatan umum (a common accord/agreement/Einverständnis)60 tentang bahasa yang umum dan wawasan kebudayaan (a common linguistic and cultural horizon).61 Gagasan Gadamer tentang pemahaman sebagai persoalan ontologis berasal dari pendapat gurunya yaitu Martin Heidegger (18891976). Gadamer menyatakan karya Heidegger, Being and Time, telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa pemahaman merupakan bentuk dasar dari Dasein.62 Bagi Heidegger, pemahaman (Verstehen) lebih dari sekedar metode. Sebabnya prarefleksi pemahaman telah wujud terlebih dahulu (prereflective understanding). Prarefleksi pemahaman merupakan bentuk dasar dari Dasein, yang secara harfiah berarti disanawujud. Pemahaman bukanlah sebuah daya pemahaman, bukan pula aktifitas dari subjek yang sadar, tetapi watak dasar Dasein, yang selalu ditafsirkan, selalu terbuka kepada penafsiran dan masa depan.63 Dalam pandangan Heidegger, ilmu pengetahuan tentang dunia tidak dapat diasingkan dari wujud di dunia, subjek tidak dapat dipisahkan dari objek, Dasein, eksistensi manusia, adadisana; dan karena wujudnya di dalam dunia. Dunia bukanlah tempat keberadaan manusia tetapi memang eksistensi manusia ada di dunia.64 Hermeneutika dalam pandangan Gadamer bukan lah persoalan subjek yang berusaha untuk memahami objek yang eksis independent dari kita. Sebabnya, kita telah dan selalu 58 Dermot Moran, Introduction to Phenomenology, (London: Routledge, 2000), 266, selanjutnya diringkas Introduction to Phenomenology. 59 Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics, 32. 60 HansGeorge Gadamer, Philosophical Hermeneutics, 7. 61 Burhanettin Tatar, Interpretation and the Problem of the Intention of the Author: H.G. Gadamer vs E.D. Hirsch (Washington, D.C.: The Council for Research in Values and Philosophy, 1998), 7, selanjutnya Interpretation. 62 Gadamer menyatakan: “Heidegger’s temporal analytics of Dasein has, I think, shown convincingly that understanding is not just one of the various possible behaviours of the subject but the mode of Being of Dasein itself.” (Die Seinsweise des Daseins selber). Dikutip dari Dermot Moran, Introduction to Phenomenology, 258. 63 Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics, 16263. 64 Ibid.,161. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 15 diakibatkan oleh sejarah. Gadamer menyatakan: “Jika kita berusaha untuk memahami fenomena sejarah dari jarak historis yang merupakan karakteristik dari situasi hermeneutis, kita telah dan selalu diakibatkan oleh sejarah.” (If we are trying to understand a historical phenomenon from the historical distance which is characteristic of our hermeneutic situation, we are always already affected by history).65 Keterkaitan kita dengan teks bukan saja sematamata kita sebagai makhluk sejarah berada dalam situasi kebudayaan kita, tetapi keterkaitan merupakan sebuah keniscayaan. Prapenilaian kita akan selalu terikut dalam menafsirkan teks. Tidak ada posisi netral dalam interaksi penafsir dengan tradisi.66 Disebabkan kesadaran diakibatkan oleh sejarah selalu mengiringi penafsiran, maka Gadamer berpendapat makna prapenilaian perlu direhabilitasi. Bagi Gadamer, prapenilaian bukanlah sesuatu yang selalunya negatif seperti yang biasa dipahami.67 Menurut Gadamer, konsep Dasein akan menafikan penafsiran otonom dan objektif (autonomous and objective interpretation). Ambisi ilmuilmu sosial untuk menjadi objektif, sebenarnya telah didahului oleh pemahaman sebelumnya yang berasal dari tradisi sejarah.68 Jadi, Gadamer menyangkal keabsahan konsep objektifitas bagi kemanusiaan yang didasarkan kepada metode, dan disejajarkan dengan ilmuilmu alam. Pendapat ini mendorong Gadamer untuk menyalahkan Schleiermacher dan Dilthey karena masih terjerat dengan asumsiasumsi objektif ilmuilmu alam. Schleiermacher dan Dilthey ingin mendapatkan sebuah metode yang berusaha untuk menghapus jarak sejarah, dengan asumsi bahwa kondisi manusia menjadi berbeda disebabkan kondisinya oleh sejarah. Menurut Gadamer, versi pemahaman psikologis tersebut dibangun atas kesalahapahaman, yaitu pemahaman (sejarah) menuntut kita untuk keluar dari kaca mata kita dan masuk ke dalam kaca mata orang lain untuk kembali mengalami niat subjektif para pengarang, seakanakan mereka adalah entitasentitas tetap. Padahal, menurut Gadamer, sebelum kita melibatkan diri kita dengan niat subjektif mereka, kita terlebih dahulu terlibat dengan apa yang mereka katakan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasanwawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Menggunakan metode untuk menetapkan kebenaran dalam niat orang yang lain bukan menggiring kepada kebenaran, tetapi semakin menjauhkan. Sebabnya, metode tersebut mengharuskan kita untuk menjadikan fihak lain sebagai objek dan mengabaikan keterlibatan dengan klaim kebenaran yang mereka buat.69 Bagi Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi seperti yang dipahami oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi mediasi (Understanding is not reconstruction but mediation). Kita adalah penyampai masa lalu kepada masa sekarang. Pemahaman pada esensinya tetap merupakan sebuah mediasi atau penerjemahan makna masa lalu ke dalam 65 Dermot Moran, Introduction to Phenomenology, 279. 66 Ibid. 67 Ibid., 278. 68 Alan How, The HabermasGadamer Debate and the Nature of the Social (Avebury: Aldershot, 1995), 9, selanjutnya diringkas The HabermasGadamer Debate. 69 Ibid., 43. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 16 situasi sekarang. Jadi, Gadamer menekankan secara khusus bukan kepada aplikasi metode oleh subjek, tetapi kepada kesinambungan sejarah yang merupakan medium yang melingkupi setiap tindakan subjek dan objekobjek yang ia pahami. Pemahaman merupakan sebuah peristiwa, sebuah gerak sejarah tersendiri yang baik penerjemah ataupun teks tidak dapat difikir sebagai bagianbagian yang otonomi. Inti pemahaman bukanlah difikirkan kebanyakannya sebagai tindakan subjektifis, tetapi sebagai masuknya ke dalam peristiwa transmisi yang masa lalu dan masa sekarang dimediasikan secara konstan. 70 Gadamer memaknai pemahaman sebagai salingmemahami. Jadi, pemahaman merupakan upaya bersama. Pemahaman selalu upaya untuk mengerti tentang sesuatu. (understanding means understanding one another. Understanding first of all having come to a mutual understanding. Understanding is always coming to an understanding about something). Konsep salingmemahami terabaikan dalam pemikiran Schleiermacher. Dalam pandangan Gadamer, konsep pemahaman dalam pemikiran Schleiermacher adalah pemahaman seseorang terhadap yang lain. Bagi Gadamer, konsep pemahaman seperti ini adalah konsep satu arah (unilateral).71 Gadamer juga tidak sependapat dengan Schleiermacher yang memahami hermeneutic circle (lingkaran penafsiran) sebagai persoalan metodologis. Dalam pandangan Gadamer, hermeneutic circle adalah persoalan ontologis. Bagi Gadamer, teks itu bukanlah sebagai sesuatu yang terletak di depan kita seolaholah ia adalah objek dalam sejarah yang kita tidak memiliki hubungan intrinsik. Dalam pandangan Gadamer, itu adalah distorsi kepada watak dasar dari hermeneutic circle yang mencakup orang yang mengetahui dan apa yang yang diketahui. Gadamer meminjam konsep Heidegger tentang. ‘dunia’ bukan saja merujuk kepada sebuah situasi yang yang terbuat dari susunan objekobjek empiris di depan seorang subjek, tetapi fakta bahwa manusia selalu menemukan dirinya telah terkait dengan yang lain. Kita menemukan diri kita berada dalam dunia yang tidak kita ciptakan, dan inilah dunia kita.72 Jadi, menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa praduga tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut.73 Gadamer juga menegaskan penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masingmasing. Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran merupakan penafsiran ulang, memahami lagi teks secara baru dan makna baru juga.74 Dari pemaparan ringkas di atas, dapat disimpulkan pemikiran Gadamer yang menganggap pemahaman sebagai persoalan ontologis telah menggiringnya untuk merombak beberapa konsep seperti fungsi kondisi sekarang penafsir (situasi hermeneutis), konsep masa 70 HansGeorge Gadamer, Philosophical Hermeneutics, xvi. 71 Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics, 137. 72 Lihat Alan How, The HabermasGadamer Debate, 45. 73 Ibid., 47. 74 Ellman Crasnow, “Hermeneutics” dalam A Dictionary of Modern Critical Terms, Roger Flower (New York: Routledge and Paul Kegan, 1987), 110. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 17 lalu (kesadaran yang disebabkan oleh sejarah merupakan sumber kemungkinankemungkinan makna dibanding sebagai objek investigasi yang pasif), prapenilaian yang bermakna positif, selain mengandung makna negatif, makna terletak bukan dalam niat pengarang, namun berada diluar subjek. Gadamer juga menjadikan hermeneutika sebagai dasar kepada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Bukan seperti Dilthey, yang ingin menjadikan hermeneutika sebagai fondasi kepada Geisteswissenschaften. Ringkasnya, hermeneutika Gadamer merupakan jawaban terhadap pertanyaan How understanding is possible? VII. Hermeneutika Rudolf Bultmann (18841976) Bultmann memformulasi teologi sebagai hermeneutika. Dalam pandangan Bultmann, teologi bukanlah pemahaman yang terjadi dalam sejarah melalui sejarah secara umum. Namun, teologi adalah pemahaman yang terjadi dalam sejarah mealalui sejarah Yesus. Bultmann ingin membangun konsep pemahaman melalaui sejarah Yesus da itu dapat ditemukan dalam Perjanjian Baru. Pemahaman bukanlah hanya terkait dengan Yesus dan Tuhan tetapi melibatkan cara orang beriman memahami dirinya dan segala sesuatu yang lain sebagai konsekwensi keimanan yang ditimbulkan oleh sejarah Yesus. Hermeneutika adalah proses pemahaman yang dengannya manusia merasa memahami dirinya dalam keterkaitannya, apakah secara otentik dalam makna cinta sebagai sebuah ungkapan wahyu ilahi, atau tidak otentik dalam penolakan terhadap wahyu.75 Bultmann juga berpendapat makna yang mutlak kapanpun tidak dapat dilihat. Sejarah menyingkap makna peristiwaperistiwa. Makna tergantung kepada perspektif. Bagi Bultmann, tidak ada penafsiran tidak akan pernah menjadi definitive karena penafsiran selalu dalam situasi sejarah kongkrit. Bagi Bultmann, makna teks ditemukan baru dalam setiap situasi baru. Jadi, bagi Bultmann, situasi baru bisa membawa makna baru kepada teks. Bagi Bultmann, bahasa sebagai fenomena manusia selalu merupakan bahasa spesifik, sebuah ungkapan konteks budaya yang khusus dan ungkapan penafsiran khusus. Tidak ada bahasa yang bebas dari penafsiran karena bahasa selalu digunakan untuk mengungkapkan pemahaman manusia.76 Bultmann memformulasi 5 konsekwensi dari program hermeneutikanya: (1) penafsiran teks Bibel harus dibebaskan dari prejudis; (2) bagaimanapun, penafsiran tidak pernah tanpa praandaianpraandaian, ‘karena sebagai penafsiran historis, penafsiran mengandaikan sebelumnya metode penelitian kritishistoris; (3) keterkaitan kehidupan antara penafsir dan tek Bibel dan pengandaianya sebelumnya hasilnya berupa prapemahaman; (4) prapemahaman ini tidak tertutup, tetapi terbuka untuk transformasi; dan (5) pemahaman teks tidak pernah menjadi definitif. Jadi, makna Kitab Suci menyingkap dirinya secara baru dalam setiap masa depan.77 75 John Painter, Theology as Hermeneutics: Rudolf Bultmann’s Interpretation of the History of Jesus (Sheffield: almond Press, 1987), 14. 76 Ibid., 4950. 77 Werner G. Jeanrond, Theological Hermeneutics, 141. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 18 Salah satu dampak dari hermeneutika Bultmann adalah demitologisasi. Bultmann mengkritisi usaha penafsiran apa saja yang tidak secukupnya menyadari kondisi hermeneutikanya sendiri, yakni konseptualitas, prapemahaman dan pandangandunia yang melatarbelakanginya. Bultmann sendiri menunjukkan kondisi hermeneutikanya merupakan pandanganhidup yang sesuai dengan wawasan modern. Bultmann mengkaji bagaimana mitologisasi berfungsi dalam modul dunia kuno, makna yang terkandung dalam konteks teks, dan bagaimana makna tersebut dalam konteks dunia modern dan pencarian keagamaan kita. Jadi, tugas para teolog adalah untuk menerjemahkan keimanan Kristiani ke dalam pandangandunia modern dan kemungkinan actual dari penerjemahan seperti itu. Bultman menyatakan mendemitologisasi berarti menyangkal bahwa pesan Kitab Suci dan Gereja terikat kepada pandangandunia kuno yang tidak lagi relevan. (To demythologize is to deny that the message of Scripture and of the Church is bound to an ancient worldview which is obsolete).78 VIII. Hermeneutika Jürgen Habermas Habermas dikenal dengan gagasannya tentang Critical Theory (Teori Kritis). Habermas menyetujui gagasan Gadamer bahwa bahasa adalah sentral dari eksistensi manusia. Habermas juga menyetujui watak dasar dari bahasa adalah dialogis. Namun, Habermas mengembangkan gagasan watak dasar bahasa dengan lebih kritis. Bagi Habermas, bahasa bukan saja berfungsi sebagai medium komunikasi, tetapi juga kekuatan dan dominasi. Dalam pandangan Habermas, Gadamer telah mengabsolutkan bahasa, dan menjadikannya satusatunya metainstitusi dan mangabaikan statusnya sebagai kekuatan ideologis yang menetralkan hubungan ketikadilan sosial yang sistemik. Ringkasnya, bagi Habermas, bahasa berfungsi melegitimasikan dominasi klas.79 Selain kekuatan yang membentuk bahasa, Habermas juga menyatakan sistemsistem buruh juga mempengaruhi bahasa dari luar. Jadi, pandangan Gadamer, ‘kesadaran yang terartikulasikan secara bahasa menentukan wujud materi kehidupanpraktis (linguistically articulated consiousness determines the material being of lifepractice), adalah naif. Bagi Habermas, yang lebih menentukan kehidupan manusia adalah konteks aksi sosial yang objektif yang tidak dapat diredusir kepada dimensi intersubjektifitas yang dimaksud dan makna yang ditransmisikan secara simbolis. (…the objective context of social action is not 78 Ibid., 14243. 79 Habermas menyatakan: “…clearly this metainstitution of language as tradition is dependent in turn on social processes that cannot be reduced to normative relationships. Language is also the medium of domination and social power. It serves to legitimate relationships power of organized force. Insofar as legitimations do not articulate the power relationships whose institutionalisation they make possible, insofar as that relationship is merely manifested in the legitimations, language is also ideological In that case it is not so much a question of deception in language as of deception with language as such.” Dikutip dari Alan How, The HabermasGadamer Debate, 145. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 19 reducible to the dimension of intersubjectively intended and symbolically transmitted meaning).80 IX. Dampak Hermeneutika Terhadap Studi AlQur’an Jika hermeneutika diterapkan ke dalam studi Qur’an, maka “paradigma baru” akan muncul bukan saja terhadap tafsir al-Qur’an, tetapi juga kepada status al-Qur’an itu sendiri. Pendapat Schleiermacher yang mengasumsikan semua teks tidak memiliki keunikan akan bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin yang menganggap al-Qur’an sebagai wahyu (tanzil/diturunkan/meta-historis) yang otentik dan final. Beberapa pemikir Arab kontemporer memang sudah mulai menyamakan alQur’an dengan bukubuku yang lain. Sekalipun tidak terpengaruh langsung dengan pemikiran Schleiermacher, namun beberapa gagasan pemikir Arab kontemporer seperti Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd memiliki kesejajaran ide dengan hermeneutika Schleiermacher.81 Kesamaan ide bahwa alQur’an seperti layaknya bukubuku yang lain merupakan suatu gugatan baru terhadap status alQur’an sebagai wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Mohammed Arkoun, seorang guru besar dalam pemikiran Islam di Universitas Sorbon, Perancis, misalnya berpendapat Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan sematamata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.82 Menurut Mohammed Arkoun, konsep alQur’an merupakan hasil rumusan tokohtokoh historis, yang mengangkat statusnya menjadi kitab suci.83 Dalam pandangan Mohammed Arkoun, wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui “edisi dunia” (éditions terrestres). Mohammed Arkoun menegaskan, pada edisi ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.84 Mengenai sejarah alQur’an, Mohammed Arkoun membaginya menjadi tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610632 H); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12324 H/632 – 936 M) dan periode berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M).85 Mohammed Arkoun memfokuskan kepada dua periode pertama. Mohammed Arkoun menamakan periode pertama sebagai Prophetic Discourse 80 Alan How, The HabermasGadamer Debate, 147. 81 Lihat dengan lebih lengkap mengenai hermeneutika Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid dalam karya penulis, Metodologi Bibel, 6380. 82 Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity and Change, editor Azim Nanji (Berlin: Mouton de Gruyter, 1997), 237, seterusnya di ringkas Islam. 83 Mohammed Arkoun, “Contemporary Critical Practices and the Qur’an,” dalam Encyclopaedia of the Qur’an, editor Jane Dammem Mc Auliffe, (Netherlands: Brill, 2001), 1: 420. 84Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach to the Qur’an: Impact of NineteenthCentury Western Hermeneutics in the Writings of Two Muslim Scholars (Disertasi Doktoral di Universitas Islam Antar Bangsa, 2003, Kuala Lumpur), 19596. 85 Mohammed Arkoun, “Introduction: An Assessment of and Perspectives on the Study of the Qur’an,” dalam The Qur’an: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Aldershoot: Ashgate, 2001), 307. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 20 (Diskursus Kenabian) dan periode kedua sebagai Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup).86 Berdasarkan pada ketiga periode tersebut, Mohammed Arkoun mendefinisikan alQur’an sebagai “sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4H/10 M.”87 Selain Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir berasal dari Mesir menyatakan alQur’an adalah bahasa manusia (the Qur’an is human language).88 Menurut Nasr Hamid, perubahan teks Ilahi (divine text) menjadi teks manusiawi (human text) terjadi sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad.89 Dalam pandangan Nasr Hamid, teks alQur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, alQur’an adalah ‘produk budaya’ (muntaj thaqafi). Ia juga menjadi produsen budaya (muntij li althaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.90 Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap alQur’an sebagai teks bahasa (nass lughawi).91 Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteksnya masingmasing. Oleh sebab itu, alQuran adalah teks historis (a historical text).92 Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan alQur’an adalah teks manusiawi (nass insani).93 Sebagai teks historis, manusiawi, bahasa maka Nasr Hamid menegaskan teksteks agama adalah teksteks bahasa yang bentuknya sama dengan teksteks yang lain di dalam budaya.94 Sebagaimana Schleiermacher yang berpendapat metode penafsiran Bibel tidak memerlukan metode khusus, Nasr Hamid juga berpendapat studi alQur’an tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia saja yang memiliki kemampuan yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan tertutup untuk 86 Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 45; 57. 87 Mohammed Arkoun, Islam, 237. 88Nasr Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam (London: Westport, conncticut, 2004), 97. 89 Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd alKhitab alDini (Kairo: Sina li alNashr, edisi pertama, 1992), 93, selanjutnya diringkas Naqd alKhitab alDini. 90 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum alNass: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al- Thaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994), selanjutnya disingkat Mafhum alNass, 24. 91 Ibid., 10; 18. 92 Nasr Hamid Abu Zayd, “The modernization of Islam or the Islamization of modernity” dalam Cosmopolitanism, Identity and Authenticity in the Middle East, editor Roel Meijer (Surrey: Curzon Press, edisi pertama, 1999), 74. 93 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd alKhitab alDini, 93. 94 Ibid., 197. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 21 memahami teksteks agama.95 Nasr Hamid menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang selalu menafsirkan alQur’an dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangan Nasr Hamid, metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah.96 Disebabkan status alQur’an sama dengan teksteks yang lain, maka Nasr Hamid meyatakan siapa saja bisa mengkaji alQur’an. Nasr Hamid menyatakan: “Saya mengkaji alQur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen maupun Ateis.”97 Pemahaman Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid yang menyamakan alQur’an dengan teksteks lainnya tidaklah tepat. AlQur’an adalah wahyu Allah swt yang menjadi petunjuk (hudan) dan rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslimin,98 yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.99AlQur’an bukan perkataan Muhammad saw,100 bukan juga perkataan seorang penyair101, tukang tenun102 atau orang gila.103 Sekalipun manusia dan jin berkumpul, mereka tidak akan bisa membuat alQur’an. 104 Jadi, status keunikan alQur’an tidaklah sesuai dengan hermeneutika Schleiermacher dan sebenarnya juga tidak sesuai dengan beberapa teori hermenutika lainnya. Selain itu, dalam menafsirkan alQur’an, keimanan seseorang merupakan syarat. Ini merupakan metode yang khusus bagi yang ingin menafsirkan alQur’an. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan!105 Senada dengan alTabari, al-Suyuti mengatakan bahwa sikap sombong, cenderung kepada bid‘ah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terusmenerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.106 Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran alQur’an sangat penting bagi seorang mufasir alQur’an. Hal ini disebabkan status alQur’an tidaklah sama dengan teksteks yang lain. Jadi, penafsiran alQur’an tetap memerlukan metodemetode yang khusus. Hal ini juga bertentangan dengan teori hermeneutika. 95 Ibid. 96 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum alNass, 24. 97 Dikutip dari Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis alQur’an: Teori Hermeneutika alQur’an (Jakarta: Teraju, 2003), 6667. 98 Surah alNahl 16 (16:89)). 99 Surah Ibrahim (14:1). 100 Surah alHaqqah (69: 4446); Surah alNajm (53: 34). 101 Surah alSaffat (37: 36); Surah alQalam (68: 51). 102 Surah alTur (52: 29). 103 Surah alHijr (15: 6); Surah alQalam (68: 2); Surah alTakwir (81: 22). 104 Surah alIsra’ (17: 88). 105 Dikutip dari Jalal alDin alSuyuti, alItqan, 854. 106 Ibid., 85455. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 22 Pengaruh hermeneutika juga terjadi kepada pemikiran Fazlur Rahman. Hermeneutika Emilio Betti tampak jelas mewarnai gerak ganda (double movement), yang merupakan fondasi dari bangunan metodologi pemikiran Fazlur Rahman. Dalam pandangan Fazlur Rahman, selama ini para mufassir tradisional menggunakan pendekatan parsial, atomistik dalam menafsirkan alQur’an. Bagi Fazlur Rahman, inilah kesalahan umum dan kegagalan dalam memahami alQur’an sebagai suatu kesepaduan. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman merumuskan sebuah metode untuk memahami alQur’an secara utuh dan baginya metode ini merupakan sebuah keharusan.107 Fazlur Rahman mengusulkan gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa alQur’an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini.108 Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda sebagai berikut: “Gerakan pertama menempuh dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan alQur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelu mengkaji ayatayat spesifik dalam sinaran situasisituasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasanbatasa masyarakat, agama, adat istiadat, lembagalembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkahdengan tidak mengesampingkan peperanganpeperangan PersiaByzantiumakan harus dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna alQur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batasbatas ajaranajaran khusus yang merpakan respons terhadap situasisituasi khusus. Langkah kedua adalah menggenaralisasikan jawabanjawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataanpernyataan yang memiliki tujuantujuan moralsosial umum yang dapat “disaring” dari ayatayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosiohistoris dan rationes legis yang sering dinyatakan. Benar, langkah yang pertamamemahami makna dari ayat spesifikitu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran alQur’an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. AlQur’an sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki suatu pandangan dunia yang kongkrit; ia juga mendakwakan bahwa ajarannya “tidak mengandung kondtradiksiinternal”, tetapi koheren secara keseluruhan.”109 107 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerjemah Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), 15. 108 Ibid., 6. 109 Ibid., 7. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 23 Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda tersebut sebagai berikut: “Sementara gerakan yang pertama terjadi dari halhal yang spesifik dalam alQur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsipprinsip umum, nilainilai, dan tujuantuuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya, ajaranajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam konteks sosiohistoris yang kongkrit di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai usurunsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritasprioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilainilai alQur’an secara baru pula. Sejauh lingkup kita mampu mencapai kedua momen dari gerakan ganda ini dengan berhasil, perintahperintah alQur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali.”110 Dalam konteks teori penafsiran modern, Fazlur Rahman menyatakan bahwa ia menyetujui hermeneutika Emilio Betti sekaligus tampaknya meluaskan pendapat Emilio Betti bahwa bentukbentuk penuh makna bukan saja mencakup mental, tetapi juga mencakup lingkungan. Gerakan ganda Fazlur Rahman merupakan sedikit perluasan dari hermeneutika Emilio Betti. Fazlur Rahman juga menyatakan hubungan teks dan pembaca adalah dialektis, yaitu makna muncul dari perjumpaan antara teks dan pikiran individu pembaca. Bagaimanapun Fazlur Rahman menolak pandangan bahwa makna teks ditafsirkan oleh pembaca saja. Ia juga menolak teks dengan sendirinya dapat berbicara maknanya sendiri. Ia menitikberatkan pentingnya makna asal aeks dan signifikansi lingkaran hermeneutis. Dalam kedua hal tersebut, latar belakang sosialhistoris alQur’an mutlak sangat penting. Ia menyatakan wahyu selalu dimediasikan oleh kondisikondisi historis yang berlaku. Ia menunjukkan bagaimana alQur’an dan Sunnah dimediasikan oleh kenyataan historis dan budaya yang terlebih dahulu ada dalam masayarat yang Islam tersebar. Oleh sebab itu, ia membedakan antara makna historis teks dan signifikansinya. Interaksi antara wahyu dan sejarah merupakan tema utama dalam hermeneutika Fazlur Rahman.111 Ringkasnya, gerakan ganda Fazlur Rahman menggiringnya untuk melakukan rekonstruksi penafsiran terhadap alQur’an. Fazlur Rahman misalnya menolak poligami, hukuman potong tangan, bunga bank sebagai riba, dan hukumhukum Islam lainnya, sebagaimana yang selama ini ditafsirkan oleh para ulama. Sayangnya, pemikiran Fazlur Rahman dianggap sebagai sebuah solusi Islam terhadap tantangan modernitas.112 110 Ibid., 8. 111 Dikutip dari Ahmad Bazli bin Shafie, A Modernist Approach to The Qur’an: A Critical Study of The Hermeneutics of Fazlur Rahman (Disertasi Doktor di ISTACIIU, Malaysia, 2004), 66. 112 Beberapa karya yang memuji pemikiran Fazlur Rahman misalnya seperti Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung: MIZAN, 1989); Sibawaihi, Hermeneutika AQur’an Fazlur Rahman Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 24 Hermeneutika Emilio Betti, E. D. Hirsch dan gerak ganda Fazlur Rahman sekalipun memiliki corak objektif, namun pada intinya memiliki ruang yang subjektif. Adopsi hermeneutika aliran objektif akan menimbulkan beberapa dampak dalam penafsiran alQur’an; penafsiran akan selalu terbuka dan perlu selalu untuk direvisi; penolakan terhadap halhal yang sifatnya permanent dalam tafsir alQur’an; membuka ruang bagi munculnya tafsir dugaan dan tafsir keraguan, karena kebenaran yang mutlak tidak akan pernah bisa diraih; mempertahankan makna normatif dan historis dan menjadikan kebenaran sebagai konsep kondisional kepada budaya dan lingkungan historis. Selain itu, hermeneutika objektifis juga tidak terlepas dari aporia hermeneutis. Hermeneutika Gadamer mengimplikasikan bahwa penafsiran akan selalu terbuka karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih persamaan paham. Dalam pandangan Gadamer, kesamaan pendapat dan pemahaman bermakna ilmu pengetahuan. Hal ini tentunya tidak tepat karena meleburnya wawasan (the fusion of horizons) tidak identik dengan kebenaran. Penafsiran terhadap alQur’an yang dicampurkan dengan penafsiran tradisi (kesadaran sosial) yang akan menghasilkan misalnya, berbagai warna Islam, seperti Islam Kejawen, Islam Indonesia, Islam Demokrasi, Islam Moderat, tidaklah sesuai dengan pandanganalam Islam. (Islamic worldview). Hermeneutika Gadamer mensyaratkan keharusan relatifitas tafsir. Maka itu, tafsir yang sudah dihasilkan oleh para mufassir terkemuka harus selalu direvisi. Dampak hermeneutika Gadamer akan menggugat halhal yang sudah mapan dalam penafsiran alQur’an. Dalam sejarah ilmu tafsir, mufassir alQur’an tidak selamanya terpengaruh dengan tradisi, latarbelakang sosial dan budayanya. Fakta bahwa mufassir dari zaman ke zaman, lintas waktu dan ruang, namun tetap memiliki kesamaan pendapat, menunjukkan refleksi mufassir menembus relatifitas penafsiran. Selain itu, dalam pandangan Gadamer, ilmu tidak akan pernah sempurna. Ilmu pengetahuan akan selalu terbuka untuk direvisi. Hal ini juga bertentangan dengan keyakinan mayoritas para ulama. Abdul Qahir alBaghdadi (1037 EB) menyatakan: ?? ???? ????? ??? ????? ???????? ??? ???? ?? ????? ????? , ?? ???? ???? ??? ??? ?? ???? ???? ????? ?????? ???? ??? ???? ???, ? ?? ????? ????? ???? ??? ???? ?? ???? ??? ??? ???? ??? ???? ?? ??????. ? ??? ??????? ???? ????? ?? ???? ????? ????? ??????? ???????. 113 ??? ?????? ??????? Senada dengan pendapat di atas, Sa’d aDin alTaftazani (13121390) menyatakan kalangan relativis adalah kaum Sophis. Mereka terbagi kepada 3 golongan, yaitu al‘ inadiyah (keras kepala), al‘ indiyyah (subjektifisme) dan allaadriyah (agnostisme).114 Kesemua itu (Yogjakara & Bandung: Jalasutra, 2007). 113 Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad alBaghdadi, alFarq bayn alFiraq (Beirut: Dar alMa’rifah 2001), 284. 114 Sa’d alDin alTaftazani, Sharh alAqaid alNasafiyyah, editor Taha ‘Abd alRauf Sa’d (Kairo: alMaktabah alAzhariyyah li alTurath), 2122. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 25 tidaklah sesuai dengan konsep ilmu dalam Islam. Konsep ilmu dalam Islam bersumber kepada Wahyu yang didukung oleh akal dan pancaindera. Wahyu dalam Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Nama Islam, keimanannya, amalannya, ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu, filsafat hermeneutika yang merelatifkan tafsir alQur’an, tidaklah sesuai dengan ajaran Islam, makanya perlu ditolak. Sebagai kesimpulan, adopsi hermeneutika ke dalam studi alQur’an hanya akan menggugat otentisitas dan finalitas alQur’an sekaligus membongkar ilmuilmu tafsir alQur’an. Filsafat hermeneutika baik yang beraliran objektifis ataupun subjektifis tidaklah sesuai dengan status alQur’an yang merupakan kitab petunjuk dari Allah swt. Membaca alQur’an sangat berbeda dengan bacaan lainnya. Membaca alQur’an masih memerlukan ilmuilmu alQur’an dan ilmuilmu altafsir sebagaimana yang telah diformulasi oleh para ulama berdasarkan kepada ajaran alQur’an dan alSunnah. Hermeneutika aliran objektifis, apalagi aliran subjektifis telah mengabaikan sumber asal yang transendental dan watak dasar dari alQur’an. Dauroh Pemikiran Islam '29; Nuun Community & SALAM UI 26